Mehmet Özay 21.12.2014
SETELAH sepuluh tahun tsunami, saya ingin mengingatkan diri saya tentang seseorang yang saya hormati karena perjuangannya mengobati luka masyarakat Aceh. Saya tidak bisa mengingat kapan awalnya dan dimana saya mendengar namanya. Tapi, yang terbersit dalam memori saya adalah sebuah foto yang tertempel pada sebuah dinding kantor Aceh Institute bersama para pendiri organisasi yang dulunya berlokasi di dekat persimpangan empat Punge. Di barisan figur dalam foto tersebut terlihat Anthony Reid, Otto Syamsuddin Ishak, Fuad Mardhatillah, Saiful Mahdi, Lukman Age, dan lain-lain.
Dulu, ketika saya mendengar bahwa dia merupakan seorang Sosiolog, saya mencoba untuk menemui dan berdialog tentang karya-karyanya secara personal. Dalam masa pencaharian, Fuad Mardhatillah yang saat itu sedang bekerja di Departemen Sosial Budaya pada Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR) mengizinkan saya untuk menghubungi Aceh Institute dengan memberikan nama dan nomor telepon Lukman Age. Ketika saya menerima informasi bahwa dia telah meninggalsaat bencana tsunami, saya tidak bisa mundur untuk menemukan paling tidak beberapa sisa jejak-jejak dari kehidupannya dengan mengunjungi keluarganya di sebuah tempat di Kampung Mulia, semoga saya tidak salah dalam mengingat tempat ini. Saya mengunjungi rumah di mana istri dan anaknya tinggal.
Hal yang menarik untuk mengenalnya lebih jauh mungkin tidak hanya karena dia seorang Sosiolog, namun juga sebagai seorang sejarawan yang menyelesaikan studi doktoralnya di Perancis (negara yang terkenal sebagai tuan rumah bagi para penemu ilmu sosial dan telah menghasilkan sejumlah intelektual berpengaruh yang telah membantu masyarakat dunia dalam memahami modernisme, post modernisme dan lainnya). Pada masa-masa awal saya berada di Aceh dan beberapa saat selanjutnya, saya telah mengenal banyak orang Aceh yang pernah belajar di Amerika Serikat atau negara-negara bekas jajahan Inggris.
Sosok yang unik
Isa Sulaiman merupakan sosok yang cukup unik dalam masyarakat Aceh dalam profesionalisme akademik dan latar belakangnya. Poin penting lain yang saya lihat dari seorang Isa Sulaiman adalah dia pernah menjadi satu perwakilan intelektual Aceh yang menghadiri --saya berpikir dia juga merupakan salah satu dari co-organizer-- konferensi menuju proses damai Aceh yang diselenggarakan oleh Asia Research Institute (ARI) di Singapura pada 28-29 Mei 2004, beberapa bulan sebelum bencana tsunami.
Saya tidak bisa membayangkan bagaimana ia berjuang menyelamatkan diri dalam gelombang raksasa hari itu. Menyedihkan, tidak diragukan lagi seperti korban lainnya. Saat itu, dia sedang berada di rumah dan ketika datang berita bahwa gelombang besar berdatangan dari laut menuju Lampriet, dia mencoba untuk menyelamatkan dirinya dengan memanjat sebuah pohon, sedangkan keluarganya berada di lantai dua rumah mereka. Saya mendengar bahwa beberapa anak-anak dan orang dewasa yang juga berjuang dengan keadaan yang sama berhasil menyelamatkan diri. Namun, tidak demikian dengan Isa Sulaiman.
Saya berhasil menghubungi Lukman Age, saat itu dia sedang bekerja di Aceh Institute yang lokasinya berada diseputaran Lampriet. Setelah memperkenalkan diri, saya mengutarakan niat kunjungan saya dan mengatakan padanya apakah dia bisa mengizinkan saya untuk menemui Isa Sulaiman. Ketika dia mengatakan dengan sedih bahwa Isa Sulaiman telah meninggal pada saat tsunami --saya menemui Lukman Age setahun setelahnya-- saya merasa seperti tertekan.
Mengapa saya merasa seperti itu, tentu saja saya tidak tahu. Akan tetapi, faktanya adalah saya telah terlambat untuk bisa menemuinya. Mungkin saya merasa seperti itu karena dia adalah seorang Sosiolog, saya berpikir bahwa berbicara dengannya akan menolong saya dalam memahami kedalaman struktur masyarakat Aceh. Saya telah mengenal banyak orang pada saat itu, dari masyarakat biasa hingga para profesor.
Saya yakin bahwa Sosiolog merupakan aktor penting yang pendapat-pendapatnya harus didengar sehingga kita bisa memahami hubungan antar individu dan hubungan antara sektor yang lebih kecil dengan sektor yang lebih besar yang melekat dalam sebuah masyarakat. Saya percaya bahwa almarhum merupakan satu dari individu tersebut yang memainkan peran untuk memahami dan mencoba memberikan solusi alternatif untuk permasalahan masyarakat. Seperti telah disebutkan di atas, Isa Sulaiman terlibat aktif dalam membangun perdamaian di Aceh, yang mana dia telah berkontribusi dalam konferensi internasional yang diselenggarakan di Singapura pada 2004.
Selanjutnya, fase penting lain dalam hidupnya adalah ketika dia diundang dalam dialog perdamaian antara Pemerintah Pusat Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka yang diselenggarakan di Jenewa pada tahun 2002. Ada beberapa hal penting dari karakteristik yang dimiliki oleh seorang Isa Sulaiman yang menuntunnya pada isu-isu sosial dan berpartisipasi aktif untuk menyelesaikan masalah-masalah besar dalam masyarakat.
Lukman Age menunjukkan kepada saya foto yang telah saya sebutkan di awal, di mana Isa Sulaiman sedang bersama dengan beberapa anggota yang saat itu aktif di Aceh Institute lainnya. Paling tidak, saat itu saya berharap bisa mengunjungi istri Isa Sulaiman dan jika memungkinkan bisa berbicara tentang almarhum dengannya. Kemudian, Lukman membawa saya ke rumah mereka yang berada di Kampung Mulia yang saat itu hanya ada beberapa rumah saja yang masih utuh berdiri setelah bencana tsunami. Rumah tersebut bertingkat dua yang berpagarkan pintu besi.
Saling terpisah
Saat itu, saya tidak bisa menemui istrinya di rumah, namun saya telah membuat janji untuk bertemu dalam beberapa hari selanjutnya. Pada kunjungan saya yang kedua, bersama penerjemah saya dan Yenny Rahmayati, saya berkesempatan untuk menemui dan berbicara dengan istri Isa Sulaiman, Halimatussakdiah. Dia menceritakan tentang hari ketika tsunami terjadi dan bagaimana mereka saling terpisah. Selanjutnya, dia membawa kami ke ruangan belajar Isa Sulaiman yang kosong dan yang tertinggal di sana hanyalah sedikit buku yang ada dalam sebuah kotak kecil.
Isa Sulaiman menyelesaikan studi doktoralnya tentang Gerakan Dar’ul Islam pada Universitas Sorbourne di Perancis dengan judul Sejarah Kekerasan Politik dan Pemberontakan Provinsi Aceh 1942-1962, dan dia menguasai beberapa bahasa asing; Inggris, Perancis dan Arab. Studinya berfokus tentang masyarakat Aceh modern pada abad ke-20. Beberapa contoh hasil karyanya adalah Les Ule‘ebalang, les Ule’mas et les Enseignants de Madrasah: La Lutte pour le Pouvoir Local en Aceh de 1942 a‘ 1951; Aceh Merdeka: Ideologi, Kepemimpinan, dan Gerakan; History of Political Violence and Rebellion of Aceh Province 1942-1962, dan; Sejarah Aceh: Sebuah Gugatan Terhadap Tradisi.
Ketika melihat judul dari hasil studinya, beberapa orang mengira bahwa dia merupakan seorang sejarawan. Faktanya, sosiologi adalah sebuah bidang akademis yang mencoba untuk memahami hubungan-hubungan yang ada dalam sebuah masyarakat tertentu, yang memfungsikan ilmu sejarah sebagai sebuah alat. Tidak diragukan lagi bahwa almarhum sangat baik dalam menggunakan pendekatan ini dalam kehidupan akademik dan intelektualnya untuk merespons permasalahan sosial yang terjadi dalam masyarakat.
SETELAH sepuluh tahun tsunami, saya ingin mengingatkan diri saya tentang seseorang yang saya hormati karena perjuangannya mengobati luka masyarakat Aceh. Saya tidak bisa mengingat kapan awalnya dan dimana saya mendengar namanya. Tapi, yang terbersit dalam memori saya adalah sebuah foto yang tertempel pada sebuah dinding kantor Aceh Institute bersama para pendiri organisasi yang dulunya berlokasi di dekat persimpangan empat Punge. Di barisan figur dalam foto tersebut terlihat Anthony Reid, Otto Syamsuddin Ishak, Fuad Mardhatillah, Saiful Mahdi, Lukman Age, dan lain-lain.
Dulu, ketika saya mendengar bahwa dia merupakan seorang Sosiolog, saya mencoba untuk menemui dan berdialog tentang karya-karyanya secara personal. Dalam masa pencaharian, Fuad Mardhatillah yang saat itu sedang bekerja di Departemen Sosial Budaya pada Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR) mengizinkan saya untuk menghubungi Aceh Institute dengan memberikan nama dan nomor telepon Lukman Age. Ketika saya menerima informasi bahwa dia telah meninggalsaat bencana tsunami, saya tidak bisa mundur untuk menemukan paling tidak beberapa sisa jejak-jejak dari kehidupannya dengan mengunjungi keluarganya di sebuah tempat di Kampung Mulia, semoga saya tidak salah dalam mengingat tempat ini. Saya mengunjungi rumah di mana istri dan anaknya tinggal.
Hal yang menarik untuk mengenalnya lebih jauh mungkin tidak hanya karena dia seorang Sosiolog, namun juga sebagai seorang sejarawan yang menyelesaikan studi doktoralnya di Perancis (negara yang terkenal sebagai tuan rumah bagi para penemu ilmu sosial dan telah menghasilkan sejumlah intelektual berpengaruh yang telah membantu masyarakat dunia dalam memahami modernisme, post modernisme dan lainnya). Pada masa-masa awal saya berada di Aceh dan beberapa saat selanjutnya, saya telah mengenal banyak orang Aceh yang pernah belajar di Amerika Serikat atau negara-negara bekas jajahan Inggris.
Sosok yang unik
Isa Sulaiman merupakan sosok yang cukup unik dalam masyarakat Aceh dalam profesionalisme akademik dan latar belakangnya. Poin penting lain yang saya lihat dari seorang Isa Sulaiman adalah dia pernah menjadi satu perwakilan intelektual Aceh yang menghadiri --saya berpikir dia juga merupakan salah satu dari co-organizer-- konferensi menuju proses damai Aceh yang diselenggarakan oleh Asia Research Institute (ARI) di Singapura pada 28-29 Mei 2004, beberapa bulan sebelum bencana tsunami.
Saya tidak bisa membayangkan bagaimana ia berjuang menyelamatkan diri dalam gelombang raksasa hari itu. Menyedihkan, tidak diragukan lagi seperti korban lainnya. Saat itu, dia sedang berada di rumah dan ketika datang berita bahwa gelombang besar berdatangan dari laut menuju Lampriet, dia mencoba untuk menyelamatkan dirinya dengan memanjat sebuah pohon, sedangkan keluarganya berada di lantai dua rumah mereka. Saya mendengar bahwa beberapa anak-anak dan orang dewasa yang juga berjuang dengan keadaan yang sama berhasil menyelamatkan diri. Namun, tidak demikian dengan Isa Sulaiman.
Saya berhasil menghubungi Lukman Age, saat itu dia sedang bekerja di Aceh Institute yang lokasinya berada diseputaran Lampriet. Setelah memperkenalkan diri, saya mengutarakan niat kunjungan saya dan mengatakan padanya apakah dia bisa mengizinkan saya untuk menemui Isa Sulaiman. Ketika dia mengatakan dengan sedih bahwa Isa Sulaiman telah meninggal pada saat tsunami --saya menemui Lukman Age setahun setelahnya-- saya merasa seperti tertekan.
Mengapa saya merasa seperti itu, tentu saja saya tidak tahu. Akan tetapi, faktanya adalah saya telah terlambat untuk bisa menemuinya. Mungkin saya merasa seperti itu karena dia adalah seorang Sosiolog, saya berpikir bahwa berbicara dengannya akan menolong saya dalam memahami kedalaman struktur masyarakat Aceh. Saya telah mengenal banyak orang pada saat itu, dari masyarakat biasa hingga para profesor.
Saya yakin bahwa Sosiolog merupakan aktor penting yang pendapat-pendapatnya harus didengar sehingga kita bisa memahami hubungan antar individu dan hubungan antara sektor yang lebih kecil dengan sektor yang lebih besar yang melekat dalam sebuah masyarakat. Saya percaya bahwa almarhum merupakan satu dari individu tersebut yang memainkan peran untuk memahami dan mencoba memberikan solusi alternatif untuk permasalahan masyarakat. Seperti telah disebutkan di atas, Isa Sulaiman terlibat aktif dalam membangun perdamaian di Aceh, yang mana dia telah berkontribusi dalam konferensi internasional yang diselenggarakan di Singapura pada 2004.
Selanjutnya, fase penting lain dalam hidupnya adalah ketika dia diundang dalam dialog perdamaian antara Pemerintah Pusat Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka yang diselenggarakan di Jenewa pada tahun 2002. Ada beberapa hal penting dari karakteristik yang dimiliki oleh seorang Isa Sulaiman yang menuntunnya pada isu-isu sosial dan berpartisipasi aktif untuk menyelesaikan masalah-masalah besar dalam masyarakat.
Lukman Age menunjukkan kepada saya foto yang telah saya sebutkan di awal, di mana Isa Sulaiman sedang bersama dengan beberapa anggota yang saat itu aktif di Aceh Institute lainnya. Paling tidak, saat itu saya berharap bisa mengunjungi istri Isa Sulaiman dan jika memungkinkan bisa berbicara tentang almarhum dengannya. Kemudian, Lukman membawa saya ke rumah mereka yang berada di Kampung Mulia yang saat itu hanya ada beberapa rumah saja yang masih utuh berdiri setelah bencana tsunami. Rumah tersebut bertingkat dua yang berpagarkan pintu besi.
Saling terpisah
Saat itu, saya tidak bisa menemui istrinya di rumah, namun saya telah membuat janji untuk bertemu dalam beberapa hari selanjutnya. Pada kunjungan saya yang kedua, bersama penerjemah saya dan Yenny Rahmayati, saya berkesempatan untuk menemui dan berbicara dengan istri Isa Sulaiman, Halimatussakdiah. Dia menceritakan tentang hari ketika tsunami terjadi dan bagaimana mereka saling terpisah. Selanjutnya, dia membawa kami ke ruangan belajar Isa Sulaiman yang kosong dan yang tertinggal di sana hanyalah sedikit buku yang ada dalam sebuah kotak kecil.
Isa Sulaiman menyelesaikan studi doktoralnya tentang Gerakan Dar’ul Islam pada Universitas Sorbourne di Perancis dengan judul Sejarah Kekerasan Politik dan Pemberontakan Provinsi Aceh 1942-1962, dan dia menguasai beberapa bahasa asing; Inggris, Perancis dan Arab. Studinya berfokus tentang masyarakat Aceh modern pada abad ke-20. Beberapa contoh hasil karyanya adalah Les Ule‘ebalang, les Ule’mas et les Enseignants de Madrasah: La Lutte pour le Pouvoir Local en Aceh de 1942 a‘ 1951; Aceh Merdeka: Ideologi, Kepemimpinan, dan Gerakan; History of Political Violence and Rebellion of Aceh Province 1942-1962, dan; Sejarah Aceh: Sebuah Gugatan Terhadap Tradisi.
Ketika melihat judul dari hasil studinya, beberapa orang mengira bahwa dia merupakan seorang sejarawan. Faktanya, sosiologi adalah sebuah bidang akademis yang mencoba untuk memahami hubungan-hubungan yang ada dalam sebuah masyarakat tertentu, yang memfungsikan ilmu sejarah sebagai sebuah alat. Tidak diragukan lagi bahwa almarhum sangat baik dalam menggunakan pendekatan ini dalam kehidupan akademik dan intelektualnya untuk merespons permasalahan sosial yang terjadi dalam masyarakat.
Saya berpikir adalah hal yang signifikan untuk mengenang seorang Isa Sulaiman, khususnya para pemuda yang mungkin bisa menjadikannya sebagai inspirasi untuk meningkatkan kehidupan masyarakat Aceh ke arah yang lebih baik. Rahmat Allah kepada semua korban tsunami.
http://aceh.tribunnews.com/2014/12/20/isa-sulaiman-dan-gampong-di-aceh