Tajuk: Suatu Upaya Menafsirkan Hubungan Aceh dengan Turki Usmani
Pembicara:
Dr Mehmet Özay – Sosiolog Islam dari Istanbul, Turki – Pakar Kebudayaan Asia Tenggara
Penerjemah: Afdhal Muchtar – guru Bahasa Inggris.
Sahari Ganie – pengamat hubungan antarabangsa
Dr Mehmet Özay – Sosiolog Islam dari Istanbul, Turki – Pakar Kebudayaan Asia Tenggara
Penerjemah: Afdhal Muchtar – guru Bahasa Inggris.
Sahari Ganie – pengamat hubungan antarabangsa
Pemandu: Thayeb Loh Angen
Pencatat: Ariful Azmi Usman
Tempat: Aceh Community Center (ACC) Sultan II Selim, Banda Aceh.
Waktu: Rabu 19 Nopember 2014, pukul 15:00 Waktu Aceh.
Pencatat: Ariful Azmi Usman
Tempat: Aceh Community Center (ACC) Sultan II Selim, Banda Aceh.
Waktu: Rabu 19 Nopember 2014, pukul 15:00 Waktu Aceh.
Pembicaraan Dr Mehmet Özay:
Mehmet Ozay menyatakan bahwa pembicaraannya ini untuk menilik dan mengenang kembali hubungan antara Aceh dengan Turki. Dia melihat konteks Aceh dari sudut pandang orang-orang Eropa mulai abad XVI-XIX.
Pandangan yang disampaikannya menggunakan pendekatan melalui catatan sejarah yang disampaikan oleh orang Turki dan akademisi Aceh. Selama beberapa tahun, dalam menilai hubungan dalam sejarah Turki menyebut atau memandang dirinya lebih tinggi daripada Aceh, padahal sebenarnya tidak, Mehmet Özay akan membantah semua hal tersebut.
Secara material Turki saat ini memang lebih superior dari pada Aceh, secara keseluruhan Turki dan Aceh dulu itu sama-sama superior, tidak ada istilah Aceh inverior atau Turki superior.
Aceh menghubungi Turki untuk meminta bantuan, akan tetapi tidak sesederhana itu, para pendiri Aceh Darussalam memiliki tujuan yang sangat besar dalam membangun hubungan tersebut, Aceh sudah telah lebih dahulu tahu bahwa di Eropa ada kerajaan Islam besar yang menguasai sebagian besar wilayah Eropa kala itu, dan patut diperhatikan betapa maju orang-orang Aceh kala itu yang sudah mampu berpikir sangat jauh.
Mehmet Özay melihat ini dan memberi tanggapan bahwa hubungan tersebut terjadi karena inisiatif dari Aceh, kekuatan Islam, pendekatan keummatan bahwa sesama muslim itu bersaudara, Aceh dan Turki satu kesatuan ummat yang besar.
Dalam Bustanussalatin disebutkan ada dua kubu kekuatan Islam paling besar pada masa itu, di Eropa Turki dan di Timur adalah Aceh. Tidak benar jika mengatakan Aceh mencari bantuan ke Turki, akan tetapi kedua negara ini sama-sama saling membutuhkan, di Aceh punya hasil alam yang melimpah ruah dan di Turki punya kekuatan perlengkapan perang yang sangat lengkap, karena itu sangat dibutuhkan untuk saling melengkapi, oleh karenanya terjadilah hubungan antara Aceh dan Turki.
Perlawanan Aceh kepada Portugis adalah perlawanan umat Islam di Asia Tenggara kepada Portugis, bukan dalam sudut sempit yang hari ini kita ketahui, yaitu hanya perang memperjuangkan sebuah bangsa Aceh, lebih dari pada itu. Karena di samping itu juga Turki pernah tiga kali gagal menaklukkan sebuah negara besar Portugis.
Catatan dari Portugis tahun 1582, Portugis sendiri mengalami masalah dengan Aceh, Portugis menguasai Malaysia akan tetapi mereka juga memiliki masalah besar dalam memerangi Aceh yang sangat kuat dan memiliki kekuatan besar.
Di samping hasil alam yang melimpah, Aceh memiliki kekuatan lain, yaitu kecintaan pada kebebasan dan tidak ingin berada di bawah kekuasaan negara lain mana pun.
Hubungan lainnya antara Aceh dan Turki juga terlahir saat Sultan Abdul Hamid 2 diakui oleh Aceh bahwa mereka adalah sebuah negara Khalifah. Turki sadar akan pentingnya menjalin hubungan dengan negara-negara Islam lainnya di Aceh, selain Aceh juga ada beberapa negara lain yang dibangun hubungan oleh Turki untuk mempertahankan wilayahnya.
Aceh memiliki kemampuan untuk membangun globalisasi, di antaranya yang dilakukan kerajaan Aceh yang benar-benar mandiri kala itu, inisiatifnya membangun hubungan dengan negara-negara Eropa lainnya. Salah satunya mengirim utusan ke Belanda dan Inggris.
Aceh sudah punya konsulat-konsulat di negara Eropa barat. Begitu juga di Prancis, Aceh sudah punya konsulat di sana kala itu.
Turki saat itu sangat bersifat daratan, melakukan ekspansi ke wilayah-wilayah barat dengan jalur darat. Daerah-daerah maritim tidak diperhatikan oleh Turki saat itu, ketika Aceh datang ke Turki barulah kerajaan Turki mulai paham untuk melakukan ekspansi ke pulau-pulau lain yang jauh. Oleh karena itu Aceh sudah lebih dahulu hebat di bidang maritim dan berperang untuk memperluaskan wilyah melalui jalur darat dan laut.
Ada tiga peperangan yang terjadi antara Turki dengan Portugis, dan Turki kalah terus karena peperangan tersebut terjadi di jalur laut. Ketika Aceh datang ke Turki, baru kemudian Turki sadar bahwa di wilayah timur ada kekuatan-kekuatan besar Islam yang mampu berperang dengan jalur laut, dan setelah itu Turki kemudian berkolaborasi dengan kerajaan-kerjaan timur untuk memulai ekspansi baru.
Kalau melihat catatan-catatan yang ditulis oleh sejarawan-sejarawan, banyak yang menilai bahawa Turki selalu menjadi negara hebat, dan negara lainnya hanyalah anak bawang, akan tetapi Mehmet Özay menyatakan bahwa hal tersebut tidak bisa dinilai begitu saja, karena ada kekuatan-kekuatan politik lain yang tidak dikaji oleh sejarawan-sejarawan sekarang sebelum mereka memulai untuk menulis sebuah catatan sejarah.
Sudah saatnya orang-orang melihat bahwa Aceh dan Turki itu setara di dalam hubungan di masa silam, jangan melihat sentral (pusat) dan fereveral (pinggiran), Aceh dan Turki memiliki hubungan khusus yang saling menguntungkan.
Pembicaraan Sahari Ganie:
Politik MoU Helsinki penting dipahami dan globalisasi menjadikan dunia ini seperti sebuah kampung kecil.
Indatu orang Aceh sudah memiliki visioner yang sangat hebat sejak dulu, terkadang itu visioner yang bahkan belum dimiliki oleh bangsa lain, akan tetapi mengapa anak cucunya sekarang seperti hari ini?
Potensi tidak akan ada guna jika hanya dilihat-lihat saja. Geopolitik Aceh adalah gerbang paling barat di Indonesia. Geo Ekonomi ada di Sabang dan Selat Malaka, hal yang sangat positif untuk dikembangkan.
MEA akan hadir di Aceh, akan tetapi masyarakat dan pemerintah Aceh tidak sadar untuk menuntut semua bidang sumber daya manusia, apakah Aceh siap akan kehadiran Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) 2015? Persiapan konstitusional (pemerintah) untuk menghadapi MEA harus didinikan, jangan terlelap dengan hal-hal kecil sehingga lupa akan yang lain.
Jalur selat Malaka adalah jalur tersibuk di dunia, mengalahkan negara-negara industri yang lain. Jika Selat Malaka ditutup bisa memutuskan urat nadi banyak negara maju.
Aceh perlu langkah awal untuk menyelesaikan masalahnya.
Sinergi sektoral adalah syarat untuk Aceh go internasional, kemajuan ekonomi yang kuat tanpa adanya ketahanan budaya yang hebat juga akan menghancurkan bangsa.
Abad XVI Aceh Darussalam sudah punya konsulat ke Negara-negara yang jauh, apa yang terjadi sekarang?
Aceh harus membangun mind set jangan menjadi katak di bawah tempurung, karena itu akan membuat Aceh semakin tertinggal. Akan tetapi cobalah untuk melihat sekeliling.
Aparatur-aparatur negara dan pelaku bisnis di Aceh harus siap untuk menanti hal-hal baru yang akan datang ke Indonesia. Jangan gagap dengan orang-orang bulek yang nantinya akan datang ke Aceh.
Pertanyaan-Pertanyaan:
Pertanyaan Abu Alif: Apa sebab Khalifah Turki Utsmani hilang begitu saja saat ini tanpa diserang oleh Kafir?
Jawab: Ketaqwaan yang memudar telah membuat sebuah kekhalifahan hancur. Kata Ibnu Khaldun, “Ketika Islam hilang, maka kekuasaan pun hilang. Bukan hanya di Turki, khalifah-khalifah lain di dunia juga demikian”.
Abu Alif: Orang-orang Turki disekolahkan ke Inggris dan belajar demokrasi, sehingga sebuah kekuasaan Islam di Turki hilang.
Pertanyaan Usman Kari: Tentang hubungnan diplomatik, Apakah masyarakat Turki saat ini masih merasakan kebersamaan tersebut layaknya keluarga seperti yang dirasakan oleh masyarakat Aceh pada umumnya?
Pertanyaan Taufik: Mengapa Turki tidak mencoba mengangkat Aceh kembali sebagai sebuah mitra layaknya seperti dahulu di masa kerajaan?
Jawaban Sahari Ganie: Saat ini posisi Turki tidak sama lagi dengan Turki yang dulu. Di masa dahulu Turki adalah sebuah negara yang besar, akan tetapi sejak awal abad XX Turki dijuluki negara tua yang sakit. Baru dalam sepuluh tahun terakhir, setelah Recep Tayyip Erdogan menjadi perdana menteri, Turki terlihat mulai pulih dari sakitnya.
Turki tengah menguatkan diri dan mulai kuat lagi, akan tetapi masih belum mungkin untuk meminta agar Aceh diangkat kembali menjadi sebuah negara seperti dahulu.
Pertanyaan Muammar: Mengapa sedikit sekali data-data tentang Aceh di Turki saat ini? Saya pernah bertanya dengan Anthony Reid, katanya di Inggris dan Belanda yang memiliki banyak sejarah tentang hubungan Aceh dengan Turki.
Jawaban Hasbi Amiruddin:
Tidak hanya ketaqwaan para raja yang membuat Aceh jadi negara besar, akan tetapi Aceh sudah punya diplomat-diplomat di luar negeri pada masanya, dan itu hebat. Lembaga pendidikan tertinggi di Aceh dulu adalah dayah, dayah sudah mampu melahirkan generasi-generasi hebat. Di masa itu belum ada kampus-kampus, akan tetapi Aceh sudah mampu mengirim utusan ke luar negeri. Itu artinya pendidikan dayah di Aceh lebih hebat di masanya dibandingkan kampus-kampus saat ini.
Aceh sekarang hanya sibuk dengan masalah-masalah kecil, saling menyalahkan satu sama lain, tidak mempunyai satu misi untuk kemajuan bangsa.
“Bangsa yang paling malu dalam berperang adalah Belanda, jenderal mereka mati dalam perang Aceh, mereka juga yang paling banyak mengeluarkan belanja perang, akan tetapi mereka kalah dari Aceh.”
Maka orang Aceh sekarang, jangan menjadi bangsa pengemis, jadilah bangsa pemimpin lagi. Semua universitas yang memiliki fakultas sejarah di dunia saat ini memperlajari tentang Aceh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar