Tampilkan postingan dengan label Bahasa Indonesia. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Bahasa Indonesia. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 13 Agustus 2016

Mimpi Melihat Turki di Aceh


Mehmet Özay                                                                                                                         13.08.2016

Kemarin Saya bermimpi sesuatu yang tidak biasa. Sehubungan dengan Aceh, Saya akan menceritakan mimpi Saya dengan masyarakat di Aceh. Mimpi saya berawal dari masa ketika Saya tiba di Aceh tahun 2005, beberapa bulan setelah terjadi bencana alam yang disebut tsunami. Tidak seperti saya atau lembaga tempat Saya berkiprah pada saat itu, ada beberapa grup dari Turki atau sebut saja Jama’ah-jama’ah yang diwakili oleh beberapa NGO.

Salah satu dari mereka mengirim ‘tim’ dan menyelidiki kalau ada perempua yang melakukan bisnis di Banda Aceh. Mereka mengontak langsung perempuan tersebut dan berbincang singkat dengannya. Dilanjutkan dengan wawancara di stasiun TV mereka yang beroperasi di Turki. Ada sesuatu yang aneh dengan wawancara ini karena wanita tersebut tidak terbilang korban tsunami di Aceh, disamping ia juga merupakan seorang distributor mobil-mobil bermerek yang terkenal di Aceh. Tak lupa juga ia menceritakan bahwa banyak masyarakat Aceh miskin dan anak yatim tertinggal selepas bencana.

Setelah program tersebut disiarkan, ada orang-orang yang rendah hati dan bersaku tebal mengunjungi Aceh untuk membangun sekolah di bawah NGO swasta milik grup tersebut. Pada kenyataannya, grup ini tidak asing bagi Indonesia karena mereka sudah terlibat dengan berbagai institusi termasuk dibidang pendidikan yang sudah terlebih dulu didirikan di Pulau Jawa. Mereka takut membangun sekolah di Aceh pada masa konflik. Namun kemudian tsunami memberi mereka peluang untuk berbisnis disini. Bahkan Mereka punya kesempatan untuk memanfaatkan dan menyalahgunakan hubungan sejarah Aceh dan Turki untuk kepentingan bisnisnya.

Karena tidak ada buku-buku sejarah Aceh dan Turki yang pernah mereka tulis (atau sebagaimana sebagaian orang mendesak bahwa itu sejarah Turki dengan Indonesia, bukan dengan Aceh) tapi mereka yang terdepan dalam menyalahgunakan kata “kita saudara” atau “kita pernah kirim meriam kemari..” dll mengemukan kalimat kalimat klise. Menariknya, tidak ada orang Aceh yang berani bertanya balik seperti “Anda siapa? Apa yang Anda lakukan disini? Apa yang sebenarnya Anda ketahui tentang hubungan masa lalu? Kenapa Anda menjalankan “bisnis” Anda dengan penuh semangat?”

Seperti biasa, NGO ini mulai membangun image didepan publik dengan mempromosikan hal hal yang berkaitan dengan bantuan-bantuan organisasinya. Dan kelompok ini juga mengikuti jalan yang sama tapi dengan level lebih tinggi sebagaimana terlihat dalam pendekatan-pendekatan yang dilakukan dengan “pejabat-pejabat atasan” seperti gubernur, walikota, dll. Dan dalam mimpi, saya melihat dengan jelas sekali bahwa mereka menghadiahkan daging qurban dalam jumlah besar kepada gubernur yang menjabat saat itu. Tujuannya adalah untuk menghipnotis gubernur seperti pejabat-pejabat lainnya. Pada faktanya, bukan hal yang mengejutkan karena prilaku ini biasa antara rantai rantai organisasi kelompok ini.

Dan gaya penyalahgunaan mereka itu melibatkan segalanya. Contohnya, secara total mereka tidak menyetujui pendekatan-pendekatan, metode-metode dan aplikasi-aplikasi sufi apapun. Tapi dalam kehidupan sosial mereka pura pura mempromosikan tradisi sufi bahkan mengundang beberapa kelompok untuk menghibur dan menari disini di Indonesia meskipun kita tidak menemukan satu perwakilan atau figur contoh dalam bidang seni tersebut. Mereka berpura pura mempromosikan pendidikan modern di Aceh termasuk ‘kelas violin’ yang mereka anggap siswa siswi Aceh kehausan dengan ‘fashion atau pendekatan ‘ yang meng-Eropa’ semacam ini dalam berpendidikan.

Mungkin masyarakat Aceh terlalu sibuk untuk memulihkan diri dari efek tsunami dan konflik. Mungkin karena alasan ini maka dapatlah dipahami.

Dalam bagian lain mimpi itu, saya menyaksikan bagaimana kelompok tersebut merangkul salah satu sekolah yang dihadiahkan oleh Islamic Development Bank kepada Aceh. Hal unik dari sekolah yang berlokasi di Aceh Besar- Lhoong, Jhanto, dan Lamnyong adalah pada kenyataanya ditetapkan untuk sepenuhnya diberikan kepada anak-anak yatim. Meskipun begitu, melalui jaringan jaringan dalam institusi mereka, hak mengelola sekolah tersebut mereka dapatkan dan menyulapnya menjadi sekolah swasta untuk mengumpulkan banyak uang. Ini tidak hanya terbatas pada uang tapi lebih dari itu. Pada faktanya, perubahan status sekolah ini yang dibangun dengan bimbingan ‘pelindung Mekkah dan Madinah’ telah menjadi ‘angsa emas’ sejak pihak manajemen mendekati pejabat-pejabat tinggi dan keluarga kaya di Banda Aceh dan sekitarnya untuk merekrut anak-anak mereka.

Tapi ‘alamnya’ anak anak yang belajar disekolah tersebut telah berubah sejak pertama kali menyantap kebab disekolah dan mengunjungi yang namanya olimpiadeinternasional. Dan lagi, tidak ada figur terkemuka di universitas atau kantor pejabat tinggi yang menanyakan status sekolah ini meskipun ini sekolah yang spesial untuk anak-anak yatim. Saat ini, barangkali para pria dan wanita ini sedang sibuk mengambil keuntungan dari hubungan mereka dengan grup ini.

Anehnya, setiap orang yang familiar dengan kelompok ini percaya argumentasi kelompok ini bahwa mereka adalah perwakilan negara Turki, atau dari waktu ke waktu sebagaiman yang terdengar bahwa kelompok mereka sendiribagaikan negara. Dan setelah beberapa saat, bau aneh menyeruak dari Turki disebabkan oleh persengketaan antara pemerintahan Turki dan kelompok ini. Beberapa pihak percaya bahwa yang akan kalah adalah pemerintah/Erdoğan karena kelompok ini terlalu kuat bahkan mereka mampu mempengaruhi Amerika Serikat.

Pada bagian akhir mimpi, saya tak beruntungnya mengamati sebuah kudeta di kampung halaman yang diorganisir oleh jaringan kepemimpinan yang tersebut diatas. Dan pihak majemen sekolah ini mengemukakan bahwa mereka tidak punya kaitan lagi dengan kelompok Turki ini. Mereka pikir orang Aceh begitu bodoh untuk percaya hal ini.

Akhirnya Saya terbangun dari mimpi buruk ini. Saya beranjak kemudian menuju warung kopi yang nyaman dan duduk dibawah sebatang pohon rindang ditemani kopi Aceh yang sangat nikmat. Dan saya pun bertanya, apakah itu mimpi atau kenyataan!

This paper was published at “Rakyat Aceh”, 10.08.2016.

Selasa, 23 Desember 2014

Isa Sulaiman Intelektual Unik

Mehmet Özay                                                                                                                      21.12.2014



SETELAH sepuluh tahun tsunami, saya ingin mengingatkan diri saya tentang seseorang yang saya hormati karena perjuangannya mengobati luka masyarakat Aceh. Saya tidak bisa mengingat kapan awalnya dan dimana saya mendengar namanya. Tapi, yang terbersit dalam memori saya adalah sebuah foto yang tertempel pada sebuah dinding kantor Aceh Institute bersama para pendiri organisasi yang dulunya berlokasi di dekat persimpangan empat Punge. Di barisan figur dalam foto tersebut terlihat Anthony Reid, Otto Syamsuddin Ishak, Fuad Mardhatillah, Saiful Mahdi, Lukman Age, dan lain-lain.

Dulu, ketika saya mendengar bahwa dia merupakan seorang Sosiolog, saya mencoba untuk menemui dan berdialog tentang karya-karyanya secara personal. Dalam masa pencaharian, Fuad Mardhatillah yang saat itu sedang bekerja di Departemen Sosial Budaya pada Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR) mengizinkan saya untuk menghubungi Aceh Institute dengan memberikan nama dan nomor telepon Lukman Age. Ketika saya menerima informasi bahwa dia telah meninggalsaat bencana tsunami, saya tidak bisa mundur untuk menemukan paling tidak beberapa sisa jejak-jejak dari kehidupannya dengan mengunjungi keluarganya di sebuah tempat di Kampung Mulia, semoga saya tidak salah dalam mengingat tempat ini. Saya mengunjungi rumah di mana istri dan anaknya tinggal.  

Hal yang menarik untuk mengenalnya lebih jauh mungkin tidak hanya karena dia seorang Sosiolog, namun juga sebagai seorang sejarawan yang menyelesaikan studi doktoralnya di Perancis (negara yang terkenal sebagai tuan rumah bagi para penemu ilmu sosial dan telah menghasilkan sejumlah intelektual berpengaruh yang telah membantu masyarakat dunia dalam memahami modernisme, post modernisme dan lainnya). Pada masa-masa awal saya berada di Aceh dan beberapa saat selanjutnya, saya telah mengenal banyak orang Aceh yang pernah belajar di Amerika Serikat atau negara-negara bekas jajahan Inggris. 

 Sosok yang unik
Isa Sulaiman merupakan sosok yang cukup unik dalam masyarakat Aceh dalam profesionalisme akademik dan latar belakangnya. Poin penting lain yang saya lihat dari seorang Isa Sulaiman adalah dia pernah menjadi satu perwakilan intelektual Aceh yang menghadiri --saya berpikir dia juga merupakan salah satu dari co-organizer-- konferensi menuju proses damai Aceh yang diselenggarakan oleh Asia Research Institute (ARI) di Singapura pada 28-29 Mei 2004, beberapa bulan sebelum bencana tsunami. 

Saya tidak bisa membayangkan bagaimana ia berjuang menyelamatkan diri dalam gelombang raksasa hari itu. Menyedihkan, tidak diragukan lagi seperti korban lainnya. Saat itu, dia sedang berada di rumah dan ketika datang berita bahwa gelombang besar berdatangan dari laut menuju Lampriet, dia mencoba untuk menyelamatkan dirinya dengan memanjat sebuah pohon, sedangkan keluarganya berada di lantai dua rumah mereka. Saya mendengar bahwa beberapa anak-anak dan orang dewasa yang juga berjuang dengan keadaan yang sama berhasil menyelamatkan diri. Namun, tidak demikian dengan Isa Sulaiman.

Saya berhasil menghubungi Lukman Age, saat itu dia sedang bekerja di Aceh Institute yang lokasinya berada diseputaran Lampriet. Setelah memperkenalkan diri, saya mengutarakan niat kunjungan saya dan mengatakan padanya apakah dia bisa mengizinkan saya untuk menemui Isa Sulaiman. Ketika dia mengatakan dengan sedih bahwa Isa Sulaiman telah meninggal pada saat tsunami --saya menemui Lukman Age setahun setelahnya-- saya merasa seperti tertekan. 

Mengapa saya merasa seperti itu, tentu saja saya tidak tahu. Akan tetapi, faktanya adalah saya telah terlambat untuk bisa menemuinya. Mungkin saya merasa seperti itu karena dia adalah seorang Sosiolog, saya berpikir bahwa berbicara dengannya akan menolong saya dalam memahami kedalaman struktur masyarakat Aceh. Saya telah mengenal banyak orang pada saat itu, dari masyarakat biasa hingga para profesor. 

Saya yakin bahwa Sosiolog merupakan aktor penting yang pendapat-pendapatnya harus didengar sehingga kita bisa memahami hubungan antar individu dan hubungan antara sektor yang lebih kecil dengan sektor yang lebih besar yang melekat dalam sebuah masyarakat. Saya percaya bahwa almarhum merupakan satu dari individu tersebut yang memainkan peran untuk memahami dan mencoba memberikan solusi alternatif untuk permasalahan masyarakat. Seperti telah disebutkan di atas, Isa Sulaiman terlibat aktif dalam membangun perdamaian di Aceh, yang mana dia telah berkontribusi dalam konferensi internasional yang diselenggarakan di Singapura pada 2004. 

Selanjutnya, fase penting lain dalam hidupnya adalah ketika dia diundang dalam dialog perdamaian antara Pemerintah Pusat Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka yang diselenggarakan di Jenewa pada tahun 2002. Ada beberapa hal penting dari karakteristik yang dimiliki oleh seorang Isa Sulaiman yang menuntunnya pada isu-isu sosial dan berpartisipasi aktif untuk menyelesaikan masalah-masalah besar dalam masyarakat.

Lukman Age menunjukkan kepada saya foto yang telah saya sebutkan di awal, di mana Isa Sulaiman sedang bersama dengan beberapa anggota yang saat itu aktif di Aceh Institute lainnya. Paling tidak, saat itu saya berharap bisa mengunjungi istri Isa Sulaiman dan jika memungkinkan bisa berbicara tentang almarhum dengannya. Kemudian, Lukman membawa saya ke rumah mereka yang berada di Kampung Mulia yang saat itu hanya ada beberapa rumah saja yang masih utuh berdiri setelah bencana tsunami. Rumah tersebut bertingkat dua yang berpagarkan pintu besi. 

 Saling terpisah
Saat itu, saya tidak bisa menemui istrinya di rumah, namun saya telah membuat janji untuk bertemu dalam beberapa hari selanjutnya. Pada kunjungan saya yang kedua, bersama penerjemah saya dan Yenny Rahmayati, saya berkesempatan untuk menemui dan berbicara dengan istri Isa Sulaiman, Halimatussakdiah. Dia menceritakan tentang hari ketika tsunami terjadi dan bagaimana mereka saling terpisah. Selanjutnya, dia membawa kami ke ruangan belajar Isa Sulaiman yang kosong dan yang tertinggal di sana hanyalah sedikit buku yang ada dalam sebuah kotak kecil.  

Isa Sulaiman menyelesaikan studi doktoralnya tentang Gerakan Dar’ul Islam pada Universitas Sorbourne di Perancis dengan judul Sejarah Kekerasan Politik dan Pemberontakan Provinsi Aceh 1942-1962, dan dia menguasai beberapa bahasa asing; Inggris, Perancis dan Arab. Studinya berfokus tentang masyarakat Aceh modern pada abad ke-20. Beberapa contoh hasil karyanya adalah Les Ule‘ebalang, les Ule’mas et les Enseignants de Madrasah: La Lutte pour le Pouvoir Local en Aceh de 1942 a‘ 1951; Aceh Merdeka: Ideologi, Kepemimpinan, dan Gerakan; History of Political Violence and Rebellion of Aceh Province 1942-1962, dan; Sejarah Aceh: Sebuah Gugatan Terhadap Tradisi. 

Ketika melihat judul dari hasil studinya, beberapa orang mengira bahwa dia merupakan seorang sejarawan. Faktanya, sosiologi adalah sebuah bidang akademis yang mencoba untuk memahami hubungan-hubungan yang ada dalam sebuah masyarakat tertentu, yang memfungsikan ilmu sejarah sebagai sebuah alat. Tidak diragukan lagi bahwa almarhum sangat baik dalam menggunakan pendekatan ini dalam kehidupan akademik dan intelektualnya untuk merespons permasalahan sosial yang terjadi dalam masyarakat. 
Saya berpikir adalah hal yang signifikan untuk mengenang seorang Isa Sulaiman, khususnya para pemuda yang mungkin bisa menjadikannya sebagai inspirasi untuk meningkatkan kehidupan masyarakat Aceh ke arah yang lebih baik. Rahmat Allah kepada semua korban tsunami. 

http://aceh.tribunnews.com/2014/12/20/isa-sulaiman-dan-gampong-di-aceh



Kamis, 27 November 2014

LUNCUR BUKU MEHMET ÖZAY & BINCANG KEBUDAYAAN ACEH DAN TURKI

Tajuk: Suatu Upaya Menafsirkan Hubungan Aceh dengan Turki Usmani
Pembicara:
Dr Mehmet Özay
 – Sosiolog Islam dari Istanbul, Turki – Pakar Kebudayaan Asia Tenggara
Penerjemah: Afdhal Muchtar – guru Bahasa Inggris.
Sahari Ganie – pengamat hubungan antarabangsa
Pemandu: Thayeb Loh Angen
Pencatat: Ariful Azmi Usman
Tempat: Aceh Community Center (ACC) Sultan II Selim, Banda Aceh.
Waktu: Rabu 19 Nopember 2014, pukul 15:00 Waktu Aceh.
Pembicaraan Dr Mehmet Özay:
Mehmet Ozay menyatakan bahwa pembicaraannya ini untuk menilik dan mengenang kembali hubungan antara Aceh dengan Turki. Dia melihat konteks Aceh dari sudut pandang orang-orang Eropa mulai abad XVI-XIX.
Pandangan yang disampaikannya menggunakan pendekatan melalui catatan sejarah yang disampaikan oleh orang Turki dan akademisi Aceh. Selama beberapa tahun, dalam menilai hubungan dalam sejarah Turki menyebut atau memandang dirinya lebih tinggi daripada Aceh, padahal sebenarnya tidak, Mehmet Özay akan membantah semua hal tersebut.
Secara material Turki saat ini memang lebih superior dari pada Aceh, secara keseluruhan Turki dan Aceh dulu itu sama-sama superior, tidak ada istilah Aceh inverior atau Turki superior.
Aceh menghubungi Turki untuk meminta bantuan, akan tetapi tidak sesederhana itu, para pendiri Aceh Darussalam memiliki tujuan yang sangat besar dalam membangun hubungan tersebut, Aceh sudah telah lebih dahulu tahu bahwa di Eropa ada kerajaan Islam besar yang menguasai sebagian besar wilayah Eropa kala itu, dan patut diperhatikan betapa maju orang-orang Aceh kala itu yang sudah mampu berpikir sangat jauh.
Mehmet Özay melihat ini dan memberi tanggapan bahwa hubungan tersebut terjadi karena inisiatif dari Aceh, kekuatan Islam, pendekatan keummatan bahwa sesama muslim itu bersaudara, Aceh dan Turki satu kesatuan ummat yang besar.
Dalam Bustanussalatin disebutkan ada dua kubu kekuatan Islam paling besar pada masa itu, di Eropa Turki dan di Timur adalah Aceh. Tidak benar jika mengatakan Aceh mencari bantuan ke Turki, akan tetapi kedua negara ini sama-sama saling membutuhkan, di Aceh punya hasil alam yang melimpah ruah dan di Turki punya kekuatan perlengkapan perang yang sangat lengkap, karena itu sangat dibutuhkan untuk saling melengkapi, oleh karenanya terjadilah hubungan antara Aceh dan Turki.
Perlawanan Aceh kepada Portugis adalah perlawanan umat Islam di Asia Tenggara kepada Portugis, bukan dalam sudut sempit yang hari ini kita ketahui, yaitu hanya perang memperjuangkan sebuah bangsa Aceh, lebih dari pada itu. Karena di samping itu juga Turki pernah tiga kali gagal menaklukkan sebuah negara besar Portugis.
Catatan dari Portugis tahun 1582, Portugis sendiri mengalami masalah dengan Aceh, Portugis menguasai Malaysia akan tetapi mereka juga memiliki masalah besar dalam memerangi Aceh yang sangat kuat dan memiliki kekuatan besar.
Di samping hasil alam yang melimpah, Aceh memiliki kekuatan lain, yaitu kecintaan pada kebebasan dan tidak ingin berada di bawah kekuasaan negara lain mana pun.
Hubungan lainnya antara Aceh dan Turki juga terlahir saat Sultan Abdul Hamid 2 diakui oleh Aceh bahwa mereka adalah sebuah negara Khalifah. Turki sadar akan pentingnya menjalin hubungan dengan negara-negara Islam lainnya di Aceh, selain Aceh juga ada beberapa negara lain yang dibangun hubungan oleh Turki untuk mempertahankan wilayahnya.
Aceh memiliki kemampuan untuk membangun globalisasi, di antaranya yang dilakukan kerajaan Aceh yang benar-benar mandiri kala itu, inisiatifnya membangun hubungan dengan negara-negara Eropa lainnya. Salah satunya mengirim utusan ke Belanda dan Inggris.
Aceh sudah punya konsulat-konsulat di negara Eropa barat. Begitu juga di Prancis, Aceh sudah punya konsulat di sana kala itu.
Turki saat itu sangat bersifat daratan, melakukan ekspansi ke wilayah-wilayah barat dengan jalur darat. Daerah-daerah maritim tidak diperhatikan oleh Turki saat itu, ketika Aceh datang ke Turki barulah kerajaan Turki mulai paham untuk melakukan ekspansi ke pulau-pulau lain yang jauh. Oleh karena itu Aceh sudah lebih dahulu hebat di bidang maritim dan berperang untuk memperluaskan wilyah melalui jalur darat dan laut.
Ada tiga peperangan yang terjadi antara Turki dengan Portugis, dan Turki kalah terus karena peperangan tersebut terjadi di jalur laut. Ketika Aceh datang ke Turki, baru kemudian Turki sadar bahwa di wilayah timur ada kekuatan-kekuatan besar Islam yang mampu berperang dengan jalur laut, dan setelah itu Turki kemudian berkolaborasi dengan kerajaan-kerjaan timur untuk memulai ekspansi baru.
Kalau melihat catatan-catatan yang ditulis oleh sejarawan-sejarawan, banyak yang menilai bahawa Turki selalu menjadi negara hebat, dan negara lainnya hanyalah anak bawang, akan tetapi Mehmet Özay menyatakan bahwa hal tersebut tidak bisa dinilai begitu saja, karena ada kekuatan-kekuatan politik lain yang tidak dikaji oleh sejarawan-sejarawan sekarang sebelum mereka memulai untuk menulis sebuah catatan sejarah.
Sudah saatnya orang-orang melihat bahwa Aceh dan Turki itu setara di dalam hubungan di masa silam, jangan melihat sentral (pusat) dan fereveral (pinggiran), Aceh dan Turki memiliki hubungan khusus yang saling menguntungkan.
Pembicaraan Sahari Ganie:
Politik MoU Helsinki penting dipahami dan globalisasi menjadikan dunia ini seperti sebuah kampung kecil.
Indatu orang Aceh sudah memiliki visioner yang sangat hebat sejak dulu, terkadang itu visioner yang bahkan belum dimiliki oleh bangsa lain, akan tetapi mengapa anak cucunya sekarang seperti hari ini?
Potensi tidak akan ada guna jika hanya dilihat-lihat saja. Geopolitik Aceh adalah gerbang paling barat di Indonesia. Geo Ekonomi ada di Sabang dan Selat Malaka, hal yang sangat positif untuk dikembangkan.
MEA akan hadir di Aceh, akan tetapi masyarakat dan pemerintah Aceh tidak sadar untuk menuntut semua bidang sumber daya manusia, apakah Aceh siap akan kehadiran Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) 2015? Persiapan konstitusional (pemerintah) untuk menghadapi MEA harus didinikan, jangan terlelap dengan hal-hal kecil sehingga lupa akan yang lain.
Jalur selat Malaka adalah jalur tersibuk di dunia, mengalahkan negara-negara industri yang lain. Jika Selat Malaka ditutup bisa memutuskan urat nadi banyak negara maju.
Aceh perlu langkah awal untuk menyelesaikan masalahnya.
Sinergi sektoral adalah syarat untuk Aceh go internasional, kemajuan ekonomi yang kuat tanpa adanya ketahanan budaya yang hebat juga akan menghancurkan bangsa.
Abad XVI Aceh Darussalam sudah punya konsulat ke Negara-negara yang jauh, apa yang terjadi sekarang?
Aceh harus membangun mind set jangan menjadi katak di bawah tempurung, karena itu akan membuat Aceh semakin tertinggal. Akan tetapi cobalah untuk melihat sekeliling.
Aparatur-aparatur negara dan pelaku bisnis di Aceh harus siap untuk menanti hal-hal baru yang akan datang ke Indonesia. Jangan gagap dengan orang-orang bulek yang nantinya akan datang ke Aceh.
Pertanyaan-Pertanyaan:
Pertanyaan Abu Alif: Apa sebab Khalifah Turki Utsmani hilang begitu saja saat ini tanpa diserang oleh Kafir?
Jawab: Ketaqwaan yang memudar telah membuat sebuah kekhalifahan hancur. Kata Ibnu Khaldun, “Ketika Islam hilang, maka kekuasaan pun hilang. Bukan hanya di Turki, khalifah-khalifah lain di dunia juga demikian”.
Abu Alif: Orang-orang Turki disekolahkan ke Inggris dan belajar demokrasi, sehingga sebuah kekuasaan Islam di Turki hilang.
Pertanyaan Usman Kari: Tentang hubungnan diplomatik, Apakah masyarakat Turki saat ini masih merasakan kebersamaan tersebut layaknya keluarga seperti yang dirasakan oleh masyarakat Aceh pada umumnya?
Pertanyaan Taufik: Mengapa Turki tidak mencoba mengangkat Aceh kembali sebagai sebuah mitra layaknya seperti dahulu di masa kerajaan?
Jawaban Sahari Ganie: Saat ini posisi Turki tidak sama lagi dengan Turki yang dulu. Di masa dahulu Turki adalah sebuah negara yang besar, akan tetapi sejak awal abad XX Turki dijuluki negara tua yang sakit. Baru dalam sepuluh tahun terakhir, setelah Recep Tayyip Erdogan menjadi perdana menteri, Turki terlihat mulai pulih dari sakitnya.
Turki tengah menguatkan diri dan mulai kuat lagi, akan tetapi masih belum mungkin untuk meminta agar Aceh diangkat kembali menjadi sebuah negara seperti dahulu.
Pertanyaan Muammar: Mengapa sedikit sekali data-data tentang Aceh di Turki saat ini? Saya pernah bertanya dengan Anthony Reid, katanya di Inggris dan Belanda yang memiliki banyak sejarah tentang hubungan Aceh dengan Turki.
 Jawaban Hasbi Amiruddin:
Tidak hanya ketaqwaan para raja yang membuat Aceh jadi negara besar, akan tetapi Aceh sudah punya diplomat-diplomat di luar negeri pada masanya, dan itu hebat. Lembaga pendidikan tertinggi di Aceh dulu adalah dayah, dayah sudah mampu melahirkan generasi-generasi hebat. Di masa itu belum ada kampus-kampus, akan tetapi Aceh sudah mampu mengirim utusan ke luar negeri. Itu artinya pendidikan dayah di Aceh lebih hebat di masanya dibandingkan kampus-kampus saat ini.
Aceh sekarang hanya sibuk dengan masalah-masalah kecil, saling menyalahkan satu sama lain, tidak mempunyai satu misi untuk kemajuan bangsa.
“Bangsa yang paling malu dalam berperang adalah Belanda, jenderal mereka mati dalam perang Aceh, mereka juga yang paling banyak mengeluarkan belanja perang, akan tetapi mereka kalah dari Aceh.”

Maka orang Aceh sekarang, jangan menjadi bangsa pengemis, jadilah bangsa pemimpin lagi. Semua universitas yang memiliki fakultas sejarah di dunia saat ini memperlajari tentang Aceh.

Minggu, 02 Februari 2014

Setelah Turki, akankah Ken Yang ke Aceh?

Mehmet Özay                                                                                                                27 Januari 2014

Ken Yang adalah seorang pelukis Malaysia lahir di Perak dan berumur 35 tahun. Ia melanjutkan hidupnya selama 15 tahun di Paris. Dengan menamai dirinya sebagai pelukis kerajaan, Ken Yang, barangkali disebut sebut sebagai seorang yang arogan, namun pada hakikatnya, label itu sangat berkaitan dengan etnik dan gaya berseninya, renaisans Italia.

Pameran lukisannya telah digelar sejak 28 Oktober 2013 hingga 31 Januari 2014 di “National Visual Art Gallery” di Kuala Lumpur. Eksibisi ini mewakili pengalamannya selama hidup di Paris dan Kuala Lumpur. Sebab itulah temanya berjudul “Paris-Kuala Lumpur”. Ada dua kategori dalam pameran ini, yang pertama adalah objek denga cirri khas Paris yang kental.  Yang kedua adalah portrait-portrait kesultanan dan individual Melayu di Malaysia. Pada kenyataanya kedua kategori tersebut  adalah deskripsi perantauan personalnya dari dunia renaissans di Paris hingga kembali ke kampong halamannya. Kurator pameran ini berasal dari Syiria, Khawajah Musa Hoshi, yang hidup di Paris selama 20 tahun.

Keunikan dari pameran ini adalah teknik dan gaya renaisans yang untuk pertama kalinya dibakatkan oleh warga negara lokal, disamping eksibi tersebut adalah yang paling mahal yang pernah dilakukan oleh “National Visual Art Gallery”. Selain itu, pameran ini juga mengeluarkan Katalog galeri yang diterbitkan dengan kolaborasi 4 institusi terkemuka seperti kementrian pariswisata dan budaya, Kementrian pertahanan, Kementrian Militer Malaysia, dan “National Visual Art Gallery”.  Perwakilan elit dari institusi ini juga menulis kata pengantar . Sebagai tambahan, Duta besar Prancis untuk Malaysia, Martine Dorance ikut menyatakan kekagumannya lewat ucapan pengenalan yang termasuk dalam katalog, beriringan dengan kalimat kalimat kekaguman lainnya dari Mantan menteri pariwisata dan budaya Malaysia, Dr. Rais Yatim. Rais Yatim dalan ucapannya menyebutkan setiap individual dari berbagai kelas di Malaysia perlu berbangga dengan keberadaan Ken Yang yang merupakan profil menarik dengan bakat yang luar biasa dalam menerjemahkan pikiran-pikiran seni lukisannya.

Pameran tersebut dibuka dengan portrait Sultan Federal Kedah, Abdul Halim Syah, berserta istrinya. Lukisan lukisan penting lainnya termasuk 3 perempuan Malaysia yang mewakili konsep 1 Malaysia,  bersatu dalam keberagaman identitas. 

Mehmet Ozay telah mengunjungi dan merekam eksibisi ini dengan bantuan Ken Yang yang juga bersedia diwawancarai. Kegiatan ini akan ditayangkan pada minggu akan datang di stasiun TV nasional Turki. Ada kemungkin Ken Yang akan mengunjungi Turki dalam rangka membangun hubungan seni antara Turki dan Malaysia. Sebagaimana yang dia sebutkan dalam wawancara, dia tidak hanya akan melanjutkan lukisan lukisannya tentang keistanaan tapi juga kecantikan alam  Malaysia melalui teknik  dan gayarenaissans. Mehmet Ozay berpikir, mengapa tidak Ken Yang mengunjungi Aceh? Karena Aceh masih merupakan salah satu keperawanan dunia Melayu. Meskipun bagi sebagian orang, Ken Yang dianggap sedikit arogan tapi ia adalah seorang yang murah hati dan peramah. Misalnya, ketika ia diundang untuk wawancara, awalnya dia menganjurkan untuk bertemu di ‘Fahrenheit’di Bukit Bintang yang ‘berkelas’ tapi kemudian Mehmet Ozay mengusulkan untuk bertemu di Kampung Baru yang kumuh. Usulan yang tampa ragu langsung ia terima.


Selasa, 14 Januari 2014

Jubir PA: Buku Mehmet Ozay Bukti Pengakuan Dunia untuk Aceh

Banda Aceh                                                                                                                       14 Januari 2014

Juru Bicara Partai Aceh (PA) Fachrul Razi mengatakan bahwa buku sejarah hasil penelitian Mehmet Ozay berjudul “Kesultanan Aceh dan Turki – Antara Fakta dan Legenda", merupakan bukti pengakuan dunia terhadap sejarah Aceh.

“Ini luar biasa, inilah buku terbaik untuk sejarah Aceh yang ditulis pada tahun-tahun awal abad XXI, ini adalah bukti bahwa sejarah kegemilangan Aceh bukanlah dongeng,” kata Fachrul Razi, di Banda Aceh, Selasa, 14 Januari 2014/12 Rabiul Awal 1435 H.

Fachrul mengucapkan terima kasih atas perhatian Mehmet Ozay yang merupakan seorang peneliti independen sekaligus sosiolog muslim asal Istanbul, Turki, terhadap kebenaran sejarah Aceh sehingga bersedia menuliskan sebuah buku tentangnya.

Fachrul mengharapkan, kedutaan Turki untuk Indonesia sekarang supaya melakukan sesuatu para untuk melestarikan bukti sejarah hubungan Antara Aceh dan Turki di masa Ottoman yang masih tersisa sekarang.

“Dr Mehmet Ozay telah memulai langkah baik itu, ditambah peluncuran buku tersebut sebagai bentuk peringatan tsunami Aceh ke 9, yang dilaksanakan di ACC Sultan II Selim, Banda Aceh, pada 26 Desember 2013, merupakan sebuah kepedulian yang luar biasa dari saudara tua Aceh, Turki,” kata Fachrul

http://www.peradabandunia.com/2014/01/jubir-pa-buku-mehmet-ozay-bukti.html

Senin, 26 Agustus 2013

Pagi ini ada bincang budaya di stan Kebudayaan Aceh Turki


PUSAT Kebudayaan Aceh dan Turki (PuKAT) akan mengadakan bincang kebudayaan bertema “Bangun Aceh dengan Budaya” hari ini di stand PuKAT di arena Piasan Seni, Taman Sari, Kota Banda Aceh.
Bincang tersebut dijadwalkan berlangsung pada pukul 09:00 WIB, Sabtu 24 Agustus 2013.

“Bincang-bincang akan merumuskan bebarapa hal, termasuk konsep ideal dalam bidang kebudayaan untuk memeriahkan piasan seni tahun depan. Selama dua tahun berjalan, Banda Aceh sudah mantap di bidang seni. Itu luar biasa, harus diacungi jempol kepada Dinas Kebudayaan Banda Aceh dan panitia yang membantunya,” kata Thayeb Loh Angen, aktivis PuKAT, dalam rilis yang diterima ATJEHPOSTcom malam tadi Jumat, 23 Agustus 2013.

Ia menambahkan, bincang seni yang akan dilaksanakan tersebut salah satunya juga akan mengonsep usulan tambahan mengenai kegiatan bidang kebudayaan ke depan supaya lebih lengkap.
Menurutnya, sebagai kota Madani yang kini sedang menyiapkan diri terdaftar di UNESCO sebagai Kota Warisan Dunia, Banda Aceh butuh ide cemerlang yang mampu ditindaklanjuti melalui kerjasama dengan berbagai pihak.

“Pemerintah, seniman, budayawan, intelektual, akademisi, dan pengusaha serta pencinta kebudayaan harus menyatukan kepentingan dalam bidang mengangkat kembali kebudayaan dan melestarikannya. Itulah yang bisa kita wariskan,” kata Thayeb.

Para sejarawan, budayawan, dan aktivis katanya tidak bisa jalan dengan mengekslusifkan diri sebagai manusia langka. Karena, kata dia, mengangkat dan melestarikan budaya butuh kekuatan, strategi, dan finansial yang memadai.

Bincang budaya tersebut akan terbuka untuk umum, dan dihadiri oleh beberapa tokoh yang mewakili komunitas budaya masing-masing, seperti Sulaiman Tambu, dan Zulfadly Kaom dari Balai Sastra Samuda Pasai.

http://atjehpost.com/kultur_read/2013/08/24/63617/36/13/Pagi-ini-ada-bincang-budaya-di-stan-Kebudayaan-Aceh-Turki#sthash.g5erWtG3.dpuf

Minggu, 16 Juni 2013

Aceh, Mangkuk Nasi Indonesia?

Mehmet Özay                                                                                                                         16.06.2013

ACEH adalah wilayah dengan populasi rendah jika dibandingkan dengan ukuran geografinya. Sehubungan dengan ini, kegiatan-kegiatan pertaniannya, terutama pembudayaan beras, mencakupi area yang luas. Oleh karenanya, Aceh diakui sebagai salah satu provinsi penanaman beras paling produktif di Indonesia. Areanya terbentang dari sekitaran Banda Aceh hingga Aceh timur termasuk dari wilayah pesisiran hingga kecamatan di pedalaman. 

Bahkan menurut beberapa kalangan, Aceh dapat diperkirakan sebagai mangkuk nasi Indonesia. BULOG membeli beras dengan jumlah signifikan dari Aceh. Sebagai tambahan, pihak perantara mengumpulkan produk beras dan mengirimnya ke Medan untuk diolah lebih jauh sebelum kemudian dijual dengan harga lebih tinggi. Walaupun begitu, harus diperhatikan bahwa sektor beras pada awalnya tidak dikelola oleh produsen-produsen besar, sebaliknya dikomando oleh produsen-produsen kecil dan menengah seperti pabrik bisnis keluarga yang dipupuk dengan usaha sendiri.

Sebab itulah ‘perantara’ dapat memperoleh laba lebih banyak dari bisnis mereka daripada produsen semula, sekaligus menjadi pembuat kebijakan dan dominan dalam bisnis semacam ini, misalnya dalam memutuskan harga pasokan beras dan lain lain. Poin penting selanjutnya adalah berkaitan dengan pihak produsen awal, artinya, mereka tidak memiliki hak yang layak untuk menjual produk-produk mereka dengan harga yang menguntungkan. Satu aspek negatif lainnya dari bisnis ini adalah proses produksi beras lebih sering berjalan tanpa sistem irigasi yang terkendali.

Sebagaimana yang tersebut dalam data-data yang telah diterbitkan, hampir 80% lapangan pertanian hanya diairi oleh kondisi iklim normal, dan hanya 20% lainnya yang dialiri dengan sungai-sungai layak berbasis sistem irigasi. Ketika Aceh memiliki potensial dalam segi produk-produk pertanian khususnya beras, dunia secara berangsur mengenyampingkan perbincangan-perbincangan mengenai ‘krisis pertanian’ yang tampaknya akan segera muncul sekurang kurangnya dalam beberapa wilayah penting di dunia. Dan tanpa diragukan, wilayah-wilayah dengan keamanan secara pertanian akan dapat bertahan dengan kuat.

Sekaranglah saatnya untuk bertanya apakah kalangan-kalangan terkait seperti Dinas pertanian, produsen, akademia memiliki pikiran-pikiran berkenaan dengan issu signifikan ini. Apakah pembuat kebijakan pemerintah Aceh memikirkan tentang potensial lahan dengan fokus meningkatkan kultivasi lapangan beras? Satu contoh saja sudah cukup untuk meyakinkan apa yang saya maksud dengan pertanyaan ini. Malaysia mengelola hanya sekitar 75% beras dan selebihnya harus dibeli dari negara-negara tetangga seperti Thailand. Sedangkan Negara Teluk, atau negara-negara perbatasan Samudra Hindia tidak memiliki lahan layak apapun untuk mengkultivasi seperti beras, gandum, dan lain sebagainya.

Oleh karenanya mereka perlu membeli dari negara lain. Aceh, dalam hal ini, berada begitu dekat dengan Malaysia dan hanya beberapa hari jarak dari negara teluk tersebut yang telah diamati memiliki koneksi sejarah dengan dunia Melayu, termasuk Aceh. Apa yang coba saya sampaikan secara implisit di atas adalah tanpa diragukan berhubungan dengan mekanisme pertanian berbasis modern. Meskipun begitu, Saya ingin mengucapkan satu aspek membahayakan dari proses tersebut.

Sebagaimana yang telah ditinjau hampir di setiap proses modernisasi di Negara-negara Dunia Ke-tiga, proses mekanisme semacam ini menggantikan pekerjaan-pekerjaan manual petani-petani dan meninggalkan mereka terasing di tengah-tengah kampung halamannya. Dan kondisi semacam ini memaksa produsen-produsen kalangan bawah untuk berpindah ke kota-kota besar dan membangun rumah-rumah berjeratan sambil kehilangan tradisinya dan lebih terdiskriminasi mengingat budaya kota yang jauh berbeda.

Ini bukan sekedar perubahan sederhana bagi kehidupan orang-orang kampung. Sebaliknya ini akan berdampak besar pada kehidupan kota, administrasi dan kemasyarakatan juga. Keberadaan pendatang bagi pemukiman kota mendorong pihak kotamadya atau administrasi kota untuk mendapatkan dana yang lebih besar untuk menyediakan tuntutan terhadap infrastruktur. Namun tanpa pemasukan yang memadai dari anggaran pemerintah, pihak administrasi kota juga akan memiliki masalah dengan bayi-bayi baru lahir.   Keberadaan populasi perkampungan di kota-kota akan menambah persoalan benda dan bukan benda yang sudah ada. 

Maka, harus ada usaha pemecahan terhadap persoalan-persoalan yang akan segera menggeroti di masa yang akan datang oleh setiap kalangan terkait termasuk administrasi, akademisi, sektor swasta, dan lain sebagainya. Mereka harus menemukan solusi praktis yang akan memudahkan kehidupan orang-orang kampung tanpa merampas kehidupan mereka di tanah kelahiran atau menjadikan mereka terlunta-lunta di sekitaran kota sebagai orang-orang tanpa akar. Ketika saya berbicara tentang akademisi, saya ingat saat mengkuliahi anak-anak Fakultas Pertanian Unsyiah beberapa tahun yang lalu. Kuliah tersebut berada dalam deretan subjek pengetahun sosial seperti teori sosial yang saya lakukan secara sukarela berdasarkan dukungan dari Prof. Darni Daud dan pertolongan anggota-anggota fakultas.

Meskipun topik tersebut adalah teori sosial pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan kenyataan-kenyataan sosial. Sebagaimana diketahui, teori dikembangkan berdasarkan realitas kehidupan sehari-hari. Sepanjang minggu, kita fokus pada pemahaman akan komponen-komponen perubahan sosial karena itu merupakan mesin kemasyarakatan dan mendiskusikan beberapa contoh dari berbagai kelompok masyarakat melalui sikap partisipasi dengan murid-murid dari kelas. Saya ingin menonjolkan fakta pencapaian beberapa murid yang saat ini mungkin telah selesai dan pulang ke kampung halamannya masing masing. Mereka sebagai sumberdaya manusia tidak boleh diabaikan demi proses mekanisasi tersebut di atas dan perubahan sosial di Aceh baru. Barangkali mereka telah mulai berkontribusi baik dalam skala besar atau kecil untuk masyarakat sekitar berdasarkan qualifikasi akademik mereka.

Tapi barangkali juga ada keprihatinan tentang bagaimana mereka dapat memaksimumkan kontribusi mereka, dengan begitu mereka baru dapat menuntun masyarakat di sekeliling. Di sini, saya ingat seorang murid saya bernama Mahlil dari Bireuen yang memiliki inisiatif dan memulai enterpreneurship di kampung halamannya. Saya yakin ada banyak Mahlil-mahlil lainnya yang telah menelusuri pilihan yang sama. Sebelum berangkat pada penghujung artikel ini, saya juga ingin menyorot satu sektor lainnya yang dapat membantu menanggapi perubahan tersebut. Bukan rahasia lagi ketika seseorang mendengar ‘Aceh’, persepsi orang-orang secara global adalah penegakan syariat Islam.

Yah, untuk batas tertentu, itu benar.Tapi persoalannya adalah dalam ruang lingkup bagaimana syariat Islam di Aceh dilaksanakan terhadap masyarakat Aceh. Sehubungan dengan isu yang sedang kita bincangkan, beberapa pihak berpendapat bahwa syariat tidak memberikan solusi dan tidak bersikap kontributif. Itu benar. Jadi, Apakah dengan begitu kita tidak bisa memikirkan cara-cara yang membuat shariah kontributif? Karena kita sedang berbicara tentang perubahan sosial termasuk pada kehidupan keluarga, sikap, moral, dan lain sebagainya, para ahli hukum syariat perlu diundang untuk merenungkan permasalahan ini.

Ketika Aceh mungkin akan segera menghadapi pencapaian tinggi dari proses produksi pertanian, pihak-pihak terkait perlu menyibukkan diri untuk menemukan pemecahan-pemecahan dan memberikan arahan yang benar bagi perubahan sosial. Tanpa diragukan ini menjadi sebuah aspek unik masyarakat Aceh dalam menangani persoalan-persoalannya dan tentu akan menjadi model bagi masyarakat-masyarakat dari wilayah sekitar dengan persoalan yang sama atau di dunia secara global.

http://atjehpost.com/saleum_read/2013/06/16/55810/77/3/Aceh-mangkuk-nasi-Indonesia

Sabtu, 25 Mei 2013

Ali Hasjmy, Khalifah Penyair Pujangga Baru


Ameer Hamzah                                                                                                  25 May 2013

Nun, demi pena dan apa yang engkau tulis (QS. Alqalam:1-2).
 
Kesusatraan Aceh dan Indonesia (Melayu)  terasa  lesu  setelah A. Hasjmy meninggal 1998. Sejak itu tidak muncul lagi para sastrawan yang produktif, baik dalam bahasa Aceh maupun bahasa Indonesia. Malah yang sudah punya nama seperti  Barlian AW, Fikar W Eda,  Doel CP Alisah, Wiratmadinata,  Nurdin F Joes, Rosni Idham, Nani  HS, Din Saja jarang sekali kita baca karya mereka yang baru.

Saya pribadi yang dianggap oleh teman-teman juga seorang sastrawan, juga mulai tumpul (bugam) setelah A.  Hasjmy meninggal dunia. Ada kondisi tertentu yang membuat saya semakin bugam di dunia sastra.  Setelah itu saya mendalami  dunia dakwah dan politik. Cita-cita saya ingin mengikuti jejak “Sang Guru” Prof. Tan Sri Kra Datu, A. Hasjmy, namun terbentur berbagai “mara” yang tak mampu ku sangga.

Sang guru memang luar biasa, ia bagaikan bintang kejora di langit zaman. Namanya  mendunia,  Pemimpin Agama Kathoilik  Sri Paus Paulus juga pernah mengundangnya ke Roma, namun gagal waktu itu karena setiba di Jakarta A Hasjmy sakit. Sebelum itu beliau sudah pernah diundang ke Mesir, Iran, Turki, Filipina, dan Jepang. Sedangkan Malaysia, Singapur dan Brunei Darussalam sama dengan kita pergi ke pasar Aceh, maksudnya terlalu sering.

Paus Sastra Indonesia , H.B .Yassin memberi gelar kepada Amir Hamzah sebagai Raja Penyair Pujangga Baru. Saya memberi gelar kepada guru saya A Hasjmy sebagai Khalifah Pujangga Baru. Gelar ini sangat tepat, sebab beliau memiliki tiga hal yang tidak dimilki Amir Hamzah, sang pangeran dari langkat.
1.    A. Hasjmy seorang pujangga yang cukup banyak mengarang buku-buku Sejarah dan Agama, juga novel-novel yang bernafaskan Islam. Beliau juga seorang penyair yang melebihi religiusitas Amir Hamzah.
2.    A. Hasjmy seorang ulama  dan intelektual islam, seorang guru besar pengcipta Fakultas Dakwah di Indonesia. Beliau juga bidan melahirkan Unsyiah, IAIN Ar-Raniry, dan Dayah Tgk Chik Pante Kulu.
3.    A. Hasjmy juga seorang umara yang sukses. Beliau Gubernur kedua Prof Daerah Istimewa  Aceh setelah Tgk H. Muhammad Dawud Beureueeh. A. Hasjmy menjadi gebenrnur saat Aceh membara, namun berkat kepiawainnya membawa air bukan api, bara dan nyala mulai padam. Beliau memperluas masjid raya, dari tiga kubah menjadi lima kubah, dari tidak ada menara menjadi dua menara waktu itu.

Makna Khalifah
Menurut A Hasjmy, semua sastrawan  seharusnya  menjadi khalifah Allah di bumi. Sebab Allah menciptakan manusia (Adam dan Bani Adam)  untuk itu. Sebagai khalifah di bumi, manusia harus memakmurkan bumi dengan kebaikan-kebaikan, perdamaian, saling menghargai antara satu bangsa dengan bangsa yang lain, anti kekerasan, pelanggaran HAM, apalagi perang.

Khalifah bumi tidak boleh kalah dengan persak bumi, yakni Iblis (Syaithan)  yang selalu menggoda manusia untuk merusak alam, permusuhan dan peperangan. Pujangga (sastrawan dan penyair) harus terus menerus mengciptakan karya-karya yang memupuk iman dan takwa, bukan karya picisan yang membangkitkan nafsu syahwat.

A.Hasjmy sering mengutip surah Asy-Syu’ara ayat 224-227: dengan terjemahan puitisnya  sebagai berikut:
Para sastrawan (penyair), pengikut mereka bandit petualang/berdiwana dari lembah ke lembah/bicara tanpa kerja/ kecuali sastrwan (penyair) beriman/ yang beramal bakti/senantiasa ingatkan Ilahi/Mereka mendapatkan kesenangan/setelah hidup dalam ancaman. 

Menurut ayat ini, memang para sastrawan  jahiliyah zaman Nabi, banyak yang  menggunakan keahliannya  menciptakan puisi-puisi (syair) untuk menghina Islam dan Rasulullah SAW. Sejumlah besar mereka berpihak kepada Abu Lahab, Abu Jahal Cs, hanya sejumlah kecil yang masuk  Islam dan beriman. Kondisi yang sama terjadi zaman  Naskaom (Nasional Agama dan Komunis (1954,55,56) antara sastrawan pro  PKI (Pramoedia Anantatoer Cs) dan Pro Islam (Taufiq Ismail Cs). A. Hasjmy kala itu termasuk yang anti Pram.

A. Hasjmy bukan hanya membesarkan nama dirinya, tetapi juga mencetak penyair-penyair muda dengan memberi spirit dan motivasi kepada mereka, maka di tangan A Hasjmy banyak penyair muda yang muncul ketika itu, bahkan hampir semua penyair dan seniman muda datang kepadanya untuk meminta nasihat dan bimbingannya.

Penutup
Sebagai penutup izinkanlah saya membaca sebuah puisi kecil buat Almarhum A. Hasjmy:

ZIARAH
Pagi tadi saat Dhuha meninggi
aku ziarah ke makammu wahai guru
Susana hening sepi….
Burung-burung kecil berzikir di pepohonan
Mengirim pahala buat guru di alam sana!
Suara Dedei Khueng  memancing sendu
Bulu romaku merinding, bergetaran di dada
Kuseka derai air mata yang membasahi pipi ini
Kala mengenang jasamu  bak laut tak bertepi
Dan ketika aku hendak pulang
Kubaca lagi tulisan terpahat di batu nasanmu:
 A. Hasjmy, Sastrawan Pujangga Baru
Meninggal dunia: 18 Juni 1998
Kupanjatkan seberkas doa buatmu
Allahummaghfirlahu warhamhu, wa’afihi wa’fuanhu

Terima kasih kepada PuKAT (Pusat Kebudayaan Aceh dan Turki), Dr. Mehmet Ozay dan Thayeb Loh Angen. Mudah-mudahan usaha ini terus berkembang dan jaya. Apalagi  Aceh dan Turki, ibarat anak dan ayah Kandung yang tak mungkin dipisahkan. Hubungan Historis kita begitu indah, bendera  Bulan-Bintang yang warna merah seakan melambai-lambai menyatukan kita kembali. 

Ali Hasjmy sendiri pernah bercerita kepada kami ,”Nenek moyang saya dari Istanbul yang hijrah ke Yaman, kemudian pindah ke Aceh. Ada kemungkinan kepindahan mereka dulu disebabkan tugas dari Khalifah Turki untuk membantu Aceh dalam bidang-bidang tertentu, sebagai  Sipai (tentara), sebagai Insinyur (ahli bangunan dan pertanian, sebagai ulama, dan sebagai ekonom untuk membangkitkan ekonomi Aceh. Wallahu a’lam.

Ameer Hamzah, sastrawan Aceh, penceramah, pendiri media Gema Bairurrahman

Makalah ini disampaikan dalam Diskusi Terfokus Mengembalikan Penyair Istana di Aceh Community Center (ACC) Sultan II Selim, Banda Aceh, 25 Mei 2013. Acara tersebut dilaksanakan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Pusat Kebudayaan Aceh dan Turki (PuKAT) kerjasama dengan Aceh Community Center (ACC) Sultan II Selim.


http://www.peradabandunia.com/2013/05/ali-hasjmy-khalifah-penyair-pujangga.html

Kamis, 25 April 2013

Diskusi 502 Tahun Kesultanan dan Hari Pahlawan Lahirkan Rekomendasi ke Gubernur Aceh dan Dubes Turki

Mehmet Özay                                                                                                                       26 April 2013
Suasana Fokus Diskusi Grup dalam rangka Memperingati 502 Tahun Kesultanan Aceh Darussalam (1511-2013) dan Hari Pahlawan Aceh 23 April ke 140 (1873-2013), pada Hari Pahlawan Aceh ke 140 tahun, Selasa 23 April 2013, di Gedung Aceh Community Center (ACC) Sultan II Selim, Banda Aceh.
Diskusi terfokus tersebut dihadiri 39 orang, di antaranya: Prof Dr Yusny Saby mantan Rektor IAIN, Arkeolog Dr Husaini Ibrahim, Kepala Museum Aceh Nurdin AR, Kolektor Manuskrip Tarmizi A Hamid, Musisi Rafly Kande, Ayah Panton, Musisi Sarjev, Apa Gense, Kadisbudpar Aceh Adami Umar, Peneliti Manuskrip Hermansyah, Said Fauzan Disbudpar Banda Aceh, Antropolog Muhajir Al Fairusi, dan lain-lain. Acara ini dilaksanakan oleh Lembaga PuKAT (Pasat Kebudayaan Aceh dan Turki kerjasama dengan Managemen ACC Sultan II Selim, Banda Aceh.


Peradaban Dunia, Banda Aceh - Fokus Diskusi Grup dalam rangka Memperingati 502 tahun Kesultanan Aceh Darussalam (1511-2013) dan hari pahlawan Aceh 23 April ke 140 (1873-2013) berlangsung dan sehingga melahirkan beberapa rekomendasi.

Diskusi terfokus tersebut dihadiri 39 orang yang terdiri dari pakar, lembaga kebudayaan, media, dan pencinta sejarah. Acara ini berlangsung pada hari Pahlawan Aceh ke 140 tahun yang jatuh pada hari Selasa 23 April 2013 di Meeting Room Aceh Community Center (ACC) Sultan II Selim, Banda Aceh.

Acara dibuka oleh kolektor manuskrip Aceh, Tarmizi A Hamid, dengan mempresentasikan manuskrip hasil koleksinya. Menurutnya, manuskrip yang ada padanya sekarang merupakan kitab-kitab karangan ulama Aceh yang menjadi acuan kebijakan Kesultanan Aceh Darussalam.
Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEglICgMai9sMymtdryBd0vDNQyJ0LBmGWyWPz_Bttetum7AUbWQ-Elnh0AXGGHu9z057NWKVQsmvwbLcJpVwmQHygEX75IkcAhWM9FDQEWHucsha4GWPH2lseswfPL1dhyGzhZ2AFyFjtQc/s320/PD2.JPG
Kolektor Manuskrip Aceh Tarmizi A Hamid (kanan, baju putih, saat menjelaskan tentang manuskrip. Di sebelahnya Muhajir Al Fairusi.
“Manuskrip merupakan peninggalan para ulama besar yang harus dikaji oleh para ahli supaya generasi muda bisa memahaminya. Manuskrip merupakan warisan peradaban yang sangat mahal. Ini merupakan karya para ulama dari segala aspek keilmuan. Diskusi ini dibuat dengan orang-orang yang sangat memperhatikan manuskrip terutama yang berisi sejarah agar kita tahu bagaimana kebudayaan Aceh yang sesungguhnya,” kata Tarmizi.

Seorang peserta yang merupakan pemerhati sejarah dari Kampung Pande, Adian Yahya, menyatakan ketidaksetujuan tentang angka tahun kesultanan. Menurut Ardian, kesultanan Aceh Darussalam hampir seribu tahun, bukan 502.

Kepala Museum Aceh Nurdin AR menganjurkan acara serupa dilakasanakan sebulan sekali. Ia  menjelaskan bahwa kenapa tahun ini Kesultanan Aceh Darussalam berusia 502 tahun.

“Kalau 502 tahun pada 2013 berarti dihitung saat Malaka jatuh ke Portugis, dan Sultan Ali Mughayatsyah menyatukan beberapa kerajaan menjadi Kesultanan Aceh Darussalam. Saat itulah potensi di Malaka berpindah ke Badar Aceh Darussalam sehingga menjadi menjadi pusat peradaban Islam terbesar di Asia Tenggara. Tergantung dari mana diambil, ini harus disepakati,” kata Nurdin.

Peserta diskusi Arkeolog dari Unsyiah Dr Husaini Ibrahim, mengatakan, tahun 1981 diadakan seminar yang menghasilkan keputusan dalam satu buku yang menegaskan Aceh hampir seribu tahun.

“Kalau hampir seribu tahun, berarti diambil dari penetapan Sultan Johansyah. Di sana disebutkan temuan baru bahwa ketika di Aceh ada sebuah dinasti Hindu-budha, ada sekelompok pelarian dari Arabia Selatan datang mengislamkan seorang raja di Aceh, itu ditulis sekitar bab ke enam. Jika sekarang disebutkan Aceh Darussalam berusia 502 tahun, itu sah-sah saja, karena setiap generasi berhak menulis sejarahnya sendiri,” kata Husaini.

Menurutnya, batu nisan menjadi sumber sejarah yang primer. Selama ini, kata dia, sejarah yang ditulis tanpa memakai metode sejarah kritis sehingga tak sesuai dengan data. Dalam penulisan sejarah, katanya, harus pakai metode sejarah kritis.

“Sumber sejarah primer seperti batu nisan dan manuskrip harus dipelihara dengan baik. Harus adalah seminar yang besar agar sumua itu terungkap dengan jelas, mengingat, Aceh sebagai sebuah kerajaan punya landasan yang besar,” kata Husaini.

Guru Besar IAIN Prof Yusny Saby, mengatakan, kebanyakan orang Aceh berasal dari Persia, Semenanjung Hindia, dan Champa.

“Sarjana besar muslim kebanyakan dari Persia. Tradisi kuburan dan nisan di Aceh, besar pengaruh Persia,” kata Profesor mantan rektor IAIN yang merupakan peserta diskusi.

Kepala Dinas Kebudayaan Dan Pariwisata Aceh Adami Umar yang hadir sebagai peserta, mengatakan, manuskrip adalah warisan intelektual yang hanya dapat dihargai oleh intelektual juga. Ia menginginkan diskusi terarah seperti yang berlangsung hari itu terus dilaksanakan.

Seorang pegiat adat Zulfadli Kawom yang menghadiri acara itu menginginkan isi sejarah, adat, dan kebudayaan supaya dipraktikkan oleh penjabat-penjabat agar bisa diperintahkan kepada rakyat. Dengan mempraktikkan kembali, kata Zulfadli, kebudayaan Aceh dapat lestari.

Pemerhati sejarah dari Pidie, Teuku Abu Bakar Assajawy, dalam acara tersebut menginginkan supaya ada rekomendasi kepada gubernur dari diskusi hari itu agar ada tindak lanjutnya.

Dalam diskusi yang berlangsung dua jam lebih tersebut, seorang pemerhati penulisan Aceh, Ayah Panton, menginginkan supaya diskusi dilaksanakan dengan waktu cukup serta membahas sebuah tema sampai selesai. Walaupun, kata dia, acara tersebut butuh waktu berhari-hari.

“Para akademisi harus meneliti. Pemerintah harus membangun sebuah museum khusus untuk menyimpan manuskrip koleksi Tarmizi A Hamid,” kata Ayah Panton.

Seorang pegiat seni, Ayi Sarjev, mengharapkan agar di diskusi selanjutnya, para hadirin memberikan ide-idenya, jangan hanya duduk dan dengar saja.

“Saya lihat diskusi ini dihadiri oleh para tokoh besar dan pengambil kebijakan, kita harus sampaikan semua ide-ide. Pendidikan sejarah dan budaya harus diterapkan di sekolah-sekolah mulai dari sejak usia dini. Dan saya harap pemerintah segera bertindak mengklaim produk Aceh dengan hak paten,” kata Sarjev.

Pemerhati sejarah asal Tamiang yang menghadiri acara, Darmansyah, menginginkan supaya penulis Aceh menulis sumber sejarahnya. Aceh, kata dia, dari dulu punya sejarah.

“Saya sudah temukan bukti sejarah Aceh ada di Kedah, Serawak Malaysia serta di Musol, Iran. Sultan Malikussaleh telah berhasil menyatukan Sunni dan Syiah di Aceh. Sekarang, pemerintah harus membuat jembatan kebudayan, yaitu bahasa. Dan, jangan lagi para penghuni wilayah ini saling mengklaim dengan masing-masing berkata, ‘aku lebih tua.’ Jangan lagi,” kata Darmansyah.

Pegiat Syariat Islam yang hadir, Teuku Zulkhairi, menginginkan supaya dalam mengambil kebijakannya, pemerintah harus merujuk pada sejarah tentang yang terjadi zaman ini.

Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Kota Banda Aceh, Yudi Kurnia, mengatakan, perlu dilaksanakan diskusi berkala, dengan tema khusus. Lalu, kata dia, dibagi kelompok kecil, masing-asing kelompok melakukan bagiannya.

“Setelahnya hasil itu dibawa kembali dalam forum untuk direkomendasikan kepada pemerintah. Harus merekomendasikan hasil diskusi kepada pemerintah,” kata Yudi yang hadir sebagai peserta. 
Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjtdKCuZmFhO2NY6vWK1Eu9K_lFe6f-VwYwhZ3D8y3-bMb-NCohy1G3trl1UeK-zKK8SuMOZYfuYEzlpXYt1KzS9ktLn2gxPulUaIum9F-jWuyCV4krsKnUCDtf4UwR3oB8H41bEbXLywnJ/s320/PD1.JPG
Suasana setelah diskuisi. Tampak (dari kanan) Kepala Disbudpar Aceh Adami Umar, Peneliti Manuskrip Hermansyah, Prof Dr Yusny Saby Mantan Rektor IAIN Banda Aceh, Pemerhati Bahasa Aceh Ayah Panton, dan jurnalis Suryadi. Mereka tertawa riang saling bercerita dan mendengar anekdot setelah melalui Fokus Diskusi Grup yang kritis.
Setelah diskusi selesai, ketua Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Pusat Kebudayaan Aceh dan Turki (PuKAT), Thayeb Loh Angen, mengatakan bahwa untuk menanggapi saran-saran peserta, pihaknya segera membuat rekomendasi.

“Hasil diskusi ini segera kami tulis dengan baik. Kita sesuaikan lagi dengan beberapa peserta kunci, lalu kita kirim ke semua peserta yang hadir dalam Fokus Diskusi Grup. Setelahnya kita serahkan kepada Gubernur Aceh dan DPR Aceh, Walikota dan DPRK Banda Aceh, serta ke Kedutaan Besar Turki di Jakarta,” kata Thayeb sebagai ketua panitia.

Dalam acara ini, penyair senior LK Ara membaca puisi tentang makam ulama besar Aceh yang makamnya di Malaka Syamsuddin As Sumatrani, Rafly Kande menyanyikan lagu berjudul ‘Puleh.’

Acara tersebut dihadiri kalangan muda Vena Juliana dan Mutia Agustina dari Lembaga Rangkang Sastra Bireuen. Keduanya adalah peserta termuda dari kalangan mahasiswa yang tertarik tentang sejarah, datang dari Bireuen khusus untuk mengikuti diskusi tersebut. Mereka tiba tepat ketika diskusi dimulai. Setelahnya kedua gadis itu kembali ke Bireuen.

Setelah Fokus Diskusi Grup tersebut selesai, peserta memberikan saran-saran tentang isi dan bentuk acara di waktu ke depan kepada panitia. Dalam melangsungkan acara ini, PuKAT bekerja sama dengan managemen Aceh Community Center Sultan II Selim, Banda Aceh. LSM Kebudayaan Aceh dan Turki ini menjadwalkan acara serupa dilaksanakan sebulan sekali dengan tema berbeda dalam tingkatan yang sama.


http://www.peradabandunia.com/2013/04/diskusi-502-tahun-kesultanan-dan-hari.html