Selasa, 11 September 2012

Satu Cahaya Lagi Pergi: Memoar Teuku Iskandar


Mehmet Ozay                                                                                                                        09.09.2012

Saya tidak ingat dimana saya melihat namanya pertama kali. Namun pastinya dari salah satu tulisannya di perpustakaan Ali Hasjmy yang saya kunjungi pada tahun 2005. Baru kemudian saya selalu mendapati namanya dalam berbagai buku-buku penting. TEUKU ISKANDAR. Dia memainkan perannya dengan mengunjungi dan menemukan kembali sejarah Aceh melalui karya-karyanya yang membumi. Saya tidak begitu tahu mengapa namanya selalumangingatkan saya dengan sosok agung lainnya, Iskandar Muda. Mungkin secara implisit saya mengira bahwa hasil-hasil tulisannya mencerminkan keagungan seorang Sultan Iskandar Muda.

Nama Teuku Iskandar sudah selalu mengelilingi academia. Wajar jika dia mendapat pengakuan sebagai salah satu pemikir terakhir tidak hanya bagi orang Aceh tapi juga bagi dunia intelektual Melayu. Dia berada dalam generasiyang menyaksikan peristiwa-peristiwa agung Aceh dimulai dari tahun tahun terakhir penjajahan Belanda, pergerakan kemerdekaan, pembentukan indonesia modern, dan Peristiwa-peristiwa Darul Islam. Jika kita ingin membandingkan akademik karirnya, barangkali saya bisa menyebutkan bahwa dia berada sejajar dengan Prof. Dr. Syed Naquib al-Attas di Malaysia.

Meskipun tidak hidup di Aceh, dia telah mengkontribusikan kegiatan-kegiatan akademiknya terhadap peradaban dan sejarah Aceh. Beberapa karya hebatnya, Hikayat Aceh, Bustanussalatin, adalah sumber pribumi terkenal yang menarik perhatian pihak-pihak terkait diseluruh dunia. Sebagai tambahan, dia juga mengkompilasikan sumber sumber otentik Melayu dalam katalog seperti, Katalog Manuskrip Melayu, Minangkabau, dan Sumatra Selatan. (1999, Leiden). Ini merupakan pekerjaan yang menggunakan waktu lama dan menantang yang telah ia lakukan selama dekade dekade awal ketika belum ada seorang pun yang meminati sejarah Aceh. Satu isu paramon lainnya adalah ia juga mempenakan disertasi PhDnya dalam bahasa Belanda ”De Hikayat Aceh” (1959, Leiden).

Karyanya telah diterbitkan dalam berbagai jurnal- jurnal penting dan rumah publikasi seperti Journal of Malayan Branch of Royal Asiatic Society (JMBRAS), Dewan Bahasa dan Pustaka (Kuala Lumpur), dan lain-lain. 

Pertama kali saya berjumpa dengan beliau saat Konferensi ICAIOS yang sedang mempresentasikan kertasnya berjudul “Aceh as a Muslim-Malay Cultural Centre (14th – 19th Century)” dalam sebuah panel. Setelah itu saya mencoba menjangkau beliau untuk sebuah interview. Dia menerima tawaran saya dengan rendah hati dengan mengundang saya ke rumah salah satu kerabatnya di Darussalam pda sebuah siang. Kita duduk di serambi untuk beberapa jam. Pembicaraan mengenai Aceh menjadi isu yang begitu menyentuh. Bagaiamanapun, hingga hari ini saya belum berkesempatan untuk mempublikasikan interview tersebut. Kaset tersebut masih tersimpan dengan baik di Aceh. 

Sebelum berbicara tentang interview ini saya ingin mengutarakan tentang penampilannya selama konferensi. Dia diundang dari Netherland dan selama sesinya, ia berbicara untuk lima belas menit sebagaimana aturan biasanya. Meskipun begitu, yang saya temukan adalah kenyataan bahwa ia begitu bersemangat untuk mendiseminasikan pengetahuan dan pemahaman sejarah Aceh kepada audiensinya yang kebanyakan adalah orang Aceh. Tampaknya ia sudah lama merindukan pendengar-pendengar Aceh yang telah kehilangan kontak dengannya dalam waktu lama. Dia memegang segenggam kertas-kertas yang penuh dengan tulisan dan mencoba untuk tidak melewatkan satu poin penting, dan membaca dengan penuh semangat. Dia tidak hanya membaca dan membincangkan sejarah, tetapi dia muncul dengan menghidupkan kembali peristiwa-peristiwa masa lalu dalam gedung konferensi. Akan tetapi, uraiannya dipotong oleh ketua panel dengan tidak bijak. Dia sepatutnya diberikan kesempatan untuk berbicara dengan bertatap muka dengan orang Aceh generasi muda dalam bahasa Aceh dan mencerahkan mereka dengan pengetahuannya. Bagaimanapun, tidak ada kesempatan itu. Kasihan! 

Sekarang, ia sudah tiada. “Inna lillah wa inna ilayhi raciun”. Mudah-mudahan Allah memberkatinya. Saya berharap dia akan dikenang oleh generas-generasi muda Aceh sebagai salah satu intelktual sejarah Aceh yang mengagumkan. Hidupnya dan karya-karyanya perlu dipelajari dengan baik sebagai sebuah tanggung jawab dan karyanya patut dimasukkan sebagai kursus materi dalam berbagai departemen bersangkutan di pendidikan tinggi. Dan karya-karyanya dengan versi yang disederhanakan dipelajari dalam sekolah-sekolah menengah. Jika Aceh ingin memiliki materi sekolah yang independen, bukankah sangat bermanfaat untuk dimulai dari karya-karya original orang Aceh sendiri?. Ini tidak hanya akan membawa Aceh pada sebuah image berbeda, tapi juga mengiring kelanjutan komunikasi ureung tuha kepada generasai muda. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar